HALLO TEMAN-TEMAN KALI INI SAYA BERBAGI MAKALAH EKONOMI TENTANG HUKUM
KETENAGAKERJAAN
BAB 1
PENDAHULUAN
Pembangunan nasional,
khususnya bidang ketenagakerjaan diarahkan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pekerja. Oleh karena itu hukum
ketenagakerjaan harus dapat menjamin kepastian hukum, nilai keadilan, asas
kemanfaatan, ketertiban, perlindungan dan penegakan hukum. Seiring dengan
pembangunan bidang ketenagakerjaan, tampak maraknya para pelaku dunia usaha
berbenah diri pasca krisis ekonomi dan moneter untuk bangun dari mimpi yang
buruk, serta terpaan gelombang krisis ekonomi global yang melanda asia
tenggara, di mana Indonesia tidak lepas dari terpaan gelombang tersebut. Pemerintah
dalam upaya mengatasi krisis ekonomi global bersama dengan masyarakat, terutama
para pelaku usaha, salah satu alasan pokok untuk menstabilkan perekonomian dan
menjaga keseimbangan moneter serta menghindari kebangkrutan sebagian besar
perusahaan yang berdampak terhadap sebagian besar nasib para pekerja pabrikan
dan berujung pada pemutusan hubungan kerja.
Pemerintah selaku
pembina, pengawas, dan penindakan hukum melaksanakan aturan hukum dengan
hati-hati mengingat posisi pengusaha dan pekerja merupakan aset potensial bagi
negara, sekaligus subyek pembangunan nasional yang berkedudukan sama dihadapan
hukum. Aturan hukum sebagai pedoman tingkah laku wajib dipatuhi para pihak dan
dengan penuh rasa tanggung-jawab. Kepatuhan bukan merupakan paksaan, melainkan
budaya taat terhadap ketentuan hukum.
Pada dasarnya hukum
ketenagakerjaan mempunyai sifat melindungi dan menciptakan rasa aman, tentram,
dan sejahtera dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hukum
ketenagakerjaan dalam memberi perlindungan harus berdasarkan pada dua aspek, Pertama,hukum dalam
perspektif ideal diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan (heterotom) dan
hukum yang bersifat otonom. Ranah hukum ini harus dapat mencerminkan produk
hukum yang sesuai cita-cita keadilan dan kebenaran, berkepastian, dan
mempunyai nilai manfaat bagi para pihak dalam proses produksi.
Hukum ketenagakerjaan
tidak semata mementingkan pelaku usaha, melainkan memperhatikan dan memberi
perlindungan kepada pekerja yang secara sosial mempunyai kedudukan sangat
lemah, jika dibandingkan dengan posisi pengusaha yang cukup mapan. Hukum
memberi manfaat terhadap prinsip perbedaan sosial serta tingkat ekonomi bagi
pekerja yang kurang beruntung, antara lain seperti tingkat kesejahteraan,
standar pengupahan serta syarat kerja, sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan selaras dengan makna keadilan menurut ketentuan Pasal 27
ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa : “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Demikian pula ketentuan
Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa : “Setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja” ;Kedua, hukum normatif pada tingkat
implementasi memberikan kontribusi dalam bentuk pengawasan melalui aparat
penegak hukum dan melaksanakan penindakan terhadap pihak-pihak yang tidak
mematuhi ketentuan hukum.
Hukum dasar
memberikan kedudukan kepada seseorang pada derajat yang sama satu terhadap
lainnya. Hal ini berlaku pula bagi pekerja yang bekerja pada pengusaha, baik
lingkungan swasta (murni), badan usaha milik negara maupun karyawan negara dan
sektor lainnya. Hal ini tersurat dalam ketentuan Pasal 28I UUD 1945, yakni :
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun…”, bahkan Pasal 28I ini memberikan perlindungan bagi mereka,
meluputi pula pekerja atas perlakuan diskriminatif. Pernyataan ini menegaskan
adanya kewajiban bagi pengusaha untuk memperlakukan para pekerja secara adil
dan proporsional sesuai asas keseimbangan kepentingan. Dalam posisi ini pekerja
sebagai mitra usaha, bukan merupakan ancaman bagi keberadaan perusahaan.Hukum
sebagai pedoman berperilaku harus mencerminkan aspek keseimbangan antara
kepentingan individu, masyarakat, serta negara. Di samping mendorong
terciptanya ketertiban, kepastian hukum, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
keadilan.
Hukum ketenagakerjaan
(Undang-Undang No. 13 Tahun 2003) ditetapkan sebagai payung hukum bidang
hubungan industrial dan direkayasa untuk menjaga ketertiban, serta sebagai
kontrol sosial, utamanya memberikan landasan hak bagi pelaku produksi (barang
dan jasa), selain sebagai payung hukum hukum ketenagakerjaan diproyeksikan
untuk alat dalam membangun kemitraan. Hal ini tersurat dalam ketentuan Pasal
102 (2) dan (3) UU. No. 13 Tahun 2003). Ketentuan ini terlihat sebagai aturan
hukum yang harus dipatuhi para pihak (tanpa ada penjelasan lebih lanjut apa
yang dimaksudkan dengan makna kemitraan). Sekilas dalam ketentuan Pasal 102 (3)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, menyatakan bahwa : “…pengusaha mempunyai fungsi menciptakan
kemitraan…” Hal ini belum memberi kejelasan yang konkrit bagi
masyarakat industrial yang umumnya awam dalam memahami ketentuan hukum.
Ironinya hukum hanya dilihat sebagai abstraktif semata.
Demikian pula
terhadap Pasal 102 ayat 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 bahwa pada intinya
pekerja dalam melaksanakan hubungan industrial berkewajiban untuk menjalankan
pekerjaan demi kelangsungan produksi, memajukan perusahaan, dan sisi lain
menerima hak sebagai apresiasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya, selain
menjalankan fungsi lainnya, melalui serikat pekerja untuk memperjuangkan
kesejahteraan anggota serta keluarganya dengan tetap menjaga ketertiban dan
kelangsungan produksi barang dan/atau jasa dan berupaya mengembangkan
keterampilan serta memajukan perusahaan.Secara tersirat hal ini merupakan
bentuk partisipasi pekerja dalam keikutsertanya menjaga ketertiban, memajukan
perusahaan, serta memperhatikan kesejahteraan, namun redaksi ini kurang dapat
dipahami para pihak, bahkan pemaknaan demikian kurang adanya keperdulian,
khususnya dari pihak pengusaha, sehingga hal ini sering memicu perselisihan hak
dan kepentingan yang berujung pada aksi unjuk rasa serta mogok kerja.
Jika makna ini
dipahami sebagai kemitraan, maka akan menjauhkan dari pelbagai kepentingan
pribadi.Berbeda, jika masyarakat industrial memahami sebagai aturan hukum yang
harus dipatuhi tanpa harus mendapatkan teguran dari pemerintah sesuai ketentuan
Pasal 102 (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003, dan memahami sebagai landasan
dalam membangun hubungan kemitraan, hanya saja ketidak patuhan dalam membangun
kemitraan tidak ada sanksi hukum yang mengikat bagi para pihak. Hal ini sebagai
kendala dalam menciptakan hubungan kemitraan.
Sekilas telah
disebutkan dasar filosofis mengenai ketentuan Pasal 102 (2) dan (3)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, bahwa penanaman asas keseimbangan
kepentingan dalam aturan hukum yang mengandung nilai kejujuran,
kepatutan, keadilan, serta tuntutan moral, seperti hak, kewajiban dan tanggung
jawab) dalam hubungan antara manusia sesuai dengan sila-sila Pancasila, di mana
pekerja dan pengusaha mempunyai hubungan timbal balik yang bernilai
kemanusiaan, tidak ada diskriminasi, serta mencari penyesuaian paham melalui
musyawarah-mufakat dalam membangun kemitraan dalam hubungan kerja antara
pekerja dengan pengusaha, dan melalui bangunan kemitraan para pihak menjaga
kondisi kerja secara kondusif, dengan tetap memperhatikan kesejahteraan para
pekerja maupun keluarganya, sebaliknya para pekerja melaksanakan
kewajiban sesuai aturan yang berlaku dan dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan kerja.
Hal ini pada
gilirannya akan tercipta suatu bangunan kemitraan. Keserasian ini
merupakan manifestasi, bahwa pengusaha dan pekerja harus menerima serta percaya
segala apa yang dimiliki merupakan amanah Allah untuk dapat dimanfaatkan bagi
kepentingan manusia. Perekat pada ranah kenegaraan dan sekaligus sebagai
landasan filosofis hubungan sosial, yakni hubungan kerja antara pekerja dengan
pengusaha, yaitu Pancasila.
Pancasila merupakan
ajaran yang mengandung nilai fundamental dalam hubungan sesama manusia dan
mencerminkan asas normatif sebagai dasar perekat hubungan kerja, khususnya
antara pengusaha dengan pekerja, alam, negara, dan Tuhannya. Mengamalkan
nilai-nilai Pancasila akan tercipta hubungan harmonis, sejahtera, terjalin
keseimbangan hak dan kewajiban, khususnya hubungan kerja antara pengusaha
dengan pekerja karena itulah perlu ditanamkan nilai kejujuran, transparansi,
asas keseimbangan yang berkeadilan serta rasa kekeluargaan dan
kegotong-royongan yang berkelanjutan sehingga nilai-nilai tersebut, akan hidup
dan berkembang secara lestari.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan rumusan
masalah antara lain yaitu :
· Apakah hukum ketenagakerjaan dapat diproyeksikan
sebagai hukum yang mempunyai landasan normatif, yaitu berkepastian hukum dan
landasan filosofis yang berdasar keadilan serta kemanfaatan bagi pelaku
produksi (barang atau jasa)?
· Bagaimana hukum ketenagakerjaan
dalam pelaksanaan hubungan kerja di Indonesia?
Adapun salah satu
tujuan dari Hukum ketenagakerjaan ini adalah untuk mengantarkan dan memperluas
pandangan mahasiswa/(i) tentang sejarah hukum ketenagakerjaan dan memberikan
kesempatan bagi mereka untuk dapat menambah pengetahuan tentang perjanjian
kerja dan pelaksanaan hubungan kerja di Indonesia.
Berdasarkan uraian
latar belakang di atas maka Penulis tertarik untuk membuat suatu karya tulis
ilmiah dalam bentuk makalah yang berjudul: “HUKUM KETENAGAKERJAAN.”
PEMBAHASAN
Asal mula adanya
Hukum Ketanagakerjaan di Indonesia terdiri dari beberapa fase jika kita lihat
pada abad 120 sebelum M. Ketika bangsa Indonesia ini mulai sudah dikenal adanya
sistem gotong-royong, antara anggota masyarakat. Dimana gotong-royong merupakan
suatu sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga yang
dimaksudkan untuk mengisi kekurangan tenaga, pada masa sibuk dengan tidak
mengenal suatu balas jasa dalam bentuk materi. Sifat gotong-royong ini memiliki
nilai luhur dan diyakini membawa kemaslahatan karena berintikan kebaikan,
kebijakan, dan hikmah bagi semua orang gotong-royong ini nantinya menjadi
sumber terbentuknya hukum ketanagakerjaan adat. Dimana walaupun peraturannya
tidak secara tertulis , namun hukum ketenagakerjaan adat ini merupakan
identitas bangsa yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia dan merupakan
penjelmaan dari jiwa bangsa Indonesia dari abad keabad.
Setelah memasuki abad
Masehi, ketika sudah mulai berdiri suatu kerajaan di Indonesia hubungan kerja
berdasarkan perbudakan, seperi saat jaman kerajaan hindia belanda pada zaman
ini terdapat suatu system pengkastaan , seperti : brahmana, ksatria, waisya,
sudra, dan paria. Dimana kasta sudra merupakan kasta paling rendah golongan
sudra dan paria ini menjadi budak dari kasta brahmana, ksatria, dan waisya
mereka hanya menjalankan kewajiban sedangkan hak-haknya dikuasai oleh para
majikan. Sama halnya dengan islam walaupun tidak secara tegas adanya sistem
pengangkatan namun sebenarnya sama saja . Pada masa ini kaum bangsawan (Raden)
memiliki hak penuh atas para tukangnya. Nilai-nilai keislaman tidak dapat
dilaksanakan sepenuhnya karena terhalang oleh dinding budaya bangsa yang sudah
berlaku 6 abad sebelumnya.
Pada saat masa
pendudukan hindia belanda di Indonesia kasus perbudakan semakin meningkat
perlakuan terhadap budak sangat keji dan tidak berperikemanusiaan. Satu-satunya
penyelsaiannya adalah mendudukan para budak pada kedudukan manusia merdeka.
Baik sosiologis maupun yuridis dan ekonomis. Tindakan belanda dalam mengatasi
kasus perbudakan ini dengan mengeluarkan staatblad 1817 no. 42 yang berisikan
larangan untuk memasukan budak-budak ke pulau jawa. Kemudian tahun 1818 di
tetapkan pada suatu UUD HB (regeling reglement) 1818 berdasarkan pasal 115 RR
menetapkan bahwa paling lambat pada tanggal 01-06-1960 perbudakan dihapuskan.
Selain kasus hindia
belanda mengenai perbudakan yang keji dikenal juga istilah Rodi yang pada
dasarnya sama saja. Rodi adalah kerja paksa mula-mula merupakan gotong-royong
oleh semua penduduk suatu desa-desa suku tertentu. Namun hal tersebut di
manfaatkan oleh penjajah menjadi suatu kerja paksa untuk kepentingan pemerintah
hindia belanda dan pembesar-pembesarnya.
Indonesia
ialah negara hukum, hal ini tentunya kita telah mengetahuinya karena dalam
Undang-Undang Dasar Negra Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 1 ayat
(3) telah menyatakan demikian. Sebagai negara hukum segala aspek kehidupan
bangsa Indonesia diatur oleh hukum termasuk dalam hubungan industrial yang
menyangkut tenaga kerja. Pengaturan ini demi terpenuhinya hak para tenaga kerja
agar tidak terjadi eksploitasi dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia
tenaga kerja.
· Menurut Undang-undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan ketenagakerjaan itu
sendiri adalah segala hal yangberhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
· Hukum ketenagakerjaan menurut
Imam Soepomo diartikan sebagai himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak
tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang
lain dengan menerima upah.
Pengertian itu
identik dengan pengertian hukum perburuhan. Ruang lingkup hukum ketegakerjaan
saya lebih luas dari pada hukum perburuhan. Hukum ketenagakerjaan dalam arti
luas tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan di bawah
pimpinan pengusaha, tetapi juga pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang
melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri. Di Indonesia
pengaturan tentang ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Disebutkan dalam undang-undang itu bahwa hukum
ketenagakerjaan ialah himpunan peraturanmengenai segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Fungsi Hukum
Ketenagakerjaan Menurut Profesor Mochtar kusumaatmadja, fungsi hukum itu adalah
sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Dalam rangka pembangunan, yang dimaksud
dengan sarana pembaharuan itu adalah sebagai penyalur arah kegiatan manusia kearah
yang diharapkan oleh pembangunan.
Pembangunan
ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan pembangunan nasional diarahkan
untuk mengatur, membina dan mengawasi segala kegiatan yang
berhubungan dengan tenaga kerja sehingga dapat terpelihara adanya ketertiban untuk mencapai
keadilan. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang dilakukan berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan itu harus memadai dan
sesuai dengan laju perkembangan pembangunan yang semakin pesat sehingga
dapat mengantisipasi tuntutan perencanaan tenaga kerja, pembinaan hubungan
industrial dan peningkatan perlindungan tenaga kerja.
Tujuan dari hukum ketenagakerjaan itu sendiri ialah
sebagai berikut :
· Memberdayakan dan mendayagunakan
tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
· Mewujudkan pemerataan kesempatan
kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan
nasional dan daerah.
· Memberikan perlindungan kepada
tenaga kerja.
· Meningkatkan kesejahteraan tenaga
kerja dan keluarganya.
Sumber
hukum ketenagakerjaan antara lain :
· Peraturan perundang-undangan,
· Kebiasaan,
· Putusan Pengadilan Hubungan
Industrial,
· Traktat.
Perjanjian, terdiri
atas perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, dan perjanjian
perusahaan.Sifat hukum ketenagakerjaan sendiri dapat privat maupun publik.
Privat dalam arti bahwa hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan antara orang
dengan orang atau badan hukum, yang dimaksudkan di sini ialah antara pekerja
dengan pengusaha. Namun, hukum ketenagakerjaan juga bersifat publik, yaitu
negara campur tangan dalam hubungan kerja dengan membuat peraturan
perundang-undangan yang bersifat memaksa bertujuan untuk melindungi tenag kerja
dengan membatasi kebebasan berkontrak.
Pada dasarnya proses
produksi barang dan jasa yang dilakukan para pelaku produksi, yakni pengusaha
dan pekerja tidak dapat terlepas dari keterlibatan negara melalui terbitnya
peraturan hukum yang protektif, berdaya paksa dan sanksi, yakni Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan segala peraturan pelaksananya.
Aturan ini berdiri pada ranah publik dan privat. Hal ini dapat diketahui
dari sifatnya yang protektif, daya paksa dan pemberian sanksi (nestapa),
sedangkan sifat privatnya diketahui dari hubungan hukum kontraktual yang
terdiri para pihak dalam rangka melakukan kegiatan produksi, yang saling
menghormati mengenai hak, kewajiban serta tanggung-jawab masing-masing
dengan berasaskan keseimbangan kepentingan.
Sebagaimana diketahui
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, dan satu ciri negara hukum adanya
pengakuan terhadap hak asasi manusia. Sebagai negara hukum yang berdasarkan
Pancasila harus mencerminkan adanya jiwa bangsa dan menjiwai, serta mendasari
peraturan hukum yang berlaku dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum dan
tata tertib, yang mengandung konsekuensi juridis bahwa setiap warga masyarakat
dan pejabat negara, di mana segala tindakannya harus berdasarkan hukum.Istilah
negara hukum (rechtsstaat) dipergunakan
Rudolf von Gneist (Jerman 1816 -1895) abad XIX dalam karyanya : “das Englische Verwaltungerechte” untuk
pemerintahan Inggris. Dalam Ensiklopedia Indonesia, istilah negara hukum
dirumuskan sebagai negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban
hukum (tata tertib berdasarkan hukum) serta agar semuanya berjalan menurut
hukum. Istilah negara hukum mempunyai padanan kata pula dengan “The Rule of Law”.
Hal ini dikemukakan Sunaryati Hartono, yaitu : “Oleh sebab itu, agar supaya
tercipta negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang
bersangkutan, pengakuan “The Rule of
Law” itu harus diartikan secara materil”.
Menurut Schelterma
sendiri elemen rechtsstaat,
yakni : Pertama, kepastian
hukum (meliputiasas legalitas, undang-undang yang mengatur
tindakan penegak hukum, undang-undang tidak berlaku surut, hak asasi manusia
dijamin undang-undang, pengendalian yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain). Kedua, persamaan
(tindakan yang berwenang diatur undang-undang dalam arti materiil, serta
pemisahan kekuasaan) ; Ketiga, demokrasi
(hak memilih dan dipilih, peraturan badan yang berwenang ditetapkan
parlemen, serta parlemen mengawasi tindakan pemerintah) ;Keempat, pemerintah
untuk rakyat (hak asasi manusia dijamin Undang-Undang Dasar, dan pemerintah
secara efektif dan efisien). Mukthie Fadjar menyatakan bahwa syarat mutlak dan
ciri khas negara hukum, yakni asas pengakuan serta perlindungan hak asasi
manusia, asas
legalitas.Dari berbagai pandangan di atas dapat dipahami bahwa
eksistensi Indonesia sebagai negara hukum teridentifikasi dalam UUD.’45, yang
secara eksplisit tercantum dan tersebar dipelbagai pasal-pasal, yaitu : Pasal 1
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 28, Pasal 28 A, Pasal 28B, Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 F,
Pasal 28 G, Pasal 28 H ayat (1), (2), (3) dan Pasal 28 I ayat (1), (2), (5) dan
Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal- Pasal
tersebut, secara umum merupakan manifestasi dari suatu ciri negara hukum,
adapun secara khusus sebagai landasan hukum ketenagakerjaan, terutama pada
ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat
(3), dan Pasal 28I (2) UUD’45. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hukum
ketenagakerjaan sebagai norma hukum yang bersifat normatif, dan merupakan
landasan hukum dalam hubungan (kerja) industrial, sebagaimana dimaksudkan
dalam ketentuan UUD. 1945, yang selanjutnya diterbitkannya Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, berdasar ketentuan Pasal 5 (1),
jo. Pasal 20 ayat (2), jo. Pasal 27 ayat (2), jo. Pasal 28, jo. Pasal 33 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945, yang berkarakter kepastian hukum, serta keadilan
sebagai ciri negara hukum.
Asas kepastian hukum
sebagai ciri negara hukum diatur pula dalam hukum pidana Pasal 1 (1) KHUP,
berbunyi : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Asas hukum (legalitas) dalam arti sempit dikenal dengan adagium : “Nullum Delictum, Nulla Poena, Sine Praevia Lege
Poenale”, sedangkan dalam makna luas (meliputi hukum acara
pidana), Jaksa wajib menuntut semua orang yang dianggap telah cukup alasan
bahwa ia telah melanggar hukum”.Bagaimana dengan hukum ketenagakerjaan yang
mempunyai dua ranah hukum ? yakni hukum bersifat publik dan privat. Dalam hal
ini, seperti yang telah diuraikan sekilas di atas, bahwa hukum ketenagakerjaan
mempunyai sifat protektif, daya paksa dan pemberian sanksi, sedangkan pada
ranah privat ada hubungan hukum yang bersifat kontraktual dalam rangka
melakukan kegiatan produksi berdasarkan asas keseimbangan kepentingan.
Sebagaimana halnya
hukum yang lain, hukum ketenagakerjaan mempunyai fungsi dan tujuan untuk
menjaga ketertiban masyarakat, khususnya hubungan antara pengusaha dengan
pekerja dalam kegiatan proses produksi barang dan jasa, yang mengandung serta
mencerminkan nilai kepastian hukum, nilai kegunaan (manfaat), dan nilai
keadilan. Di sini ketiga nilai tersebut sebagai pilar-pilar yang melandasi
tegaknya hukum ketenagakerjaan, dan sekaligus sebagai tujuan hukum
ketenagakerjaan.Sebagaimana diketahui bahwa salah satu elemen negara hukum
adanya hak asasi manusia sebagai hak dasar, yang secara alamiah telah melekat
pada diri manusia sejak ia lahir dan tidak dapat dicabut sedemikian rupa, jika
dicabut hak tersebut maka kehadirannya dalam ranah sosial akan hilang
eksistensinya sebagai manusia.
Hal ini sesuai
pernyataan Wolhoff, bahwa sejumlah hak yang seakan-akan berakar dalam
tabiat setiap oknum pribadi manusia justru karena kemanusiaannya yang tidak
dapat dicabut oleh siapapun karena bila dicabut hilang juga kemanusiaannya
itu”.Masuknya rumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945, sebagai jaminan adanya
penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, selain itu
sebagai salah satu syarat untuk terpenuhinya unsur negara hukum.
Demikian pula hukum
sebagai sarana untuk mencapai ketertiban, kesejahteraan, dan keadilan dalam
mengatur mengenai hak warga harus dapat menunjukkan jaminan perlindungan hak
atas pekerjaan yang layak, bebas memilih pekerjaan, hak atas syarat-syarat
ketenagakerjaan, hak atas upah yang adil serta syarat-syarat perjanjian kerja
proposional. Hak yang lain, mendirikan serikat pekerja serta tidak boleh untuk
menghambat para pekerja sebagai anggotanya.
Dalam mendukung
prinsip hak asasi, John Rawls, melalui karyanya A
Theory of Justice, menyatakan bahwa : Pertama, prinsip-prinsip
umum keadilan mendasari pelbagai keputusan moral ; Kedua, cita
keadilan terletak pada struktur sosial (masyarakat), seperti : lembaga
sosial, politik, hukum, ekonomi. Struktur masyarakat, meliputi konstitusi,
pemilikan pribadi atas sarana/ prasarana produksi, pasar kompetitif yang
membutuhkan kerja sama semua pihak ; Ketiga, prinsip
kebebasan yang sama bagi semua orang (kebebasan dalam memperjuangkan hak dan/
atau kepentingan hukum), yang di dalamnya terkandung aspek perbedaan dan
persamaan, yakni prinsip perbedaan sosial serta ekonomi harus diatur agar
memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung
seperti kesejahteraan, pendapatan dan otoritas, sedang prinsip persamaan, yakni
berkeadilan atas kesempatan. Hal ini bermakna bahwa setiap orang mempunyai hak
dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan kebebasan sesuai dengan prinsip hak
asasi manusia.
Selaras dengan hal di
atas, Dahlan Thaib mengatakan bahwa ada 15 (limabelas) prinsip hak asasi
manusia, yaitu :
1. Hak untuk menentukan nasib
sendiri,
2. Hak akan warga Negara,
3. Hak
akan kesamaan dan persamaan di hadapan hokum,
4. Hak
untuk bekerja,
5. Hak
akan hidup layak,
6. Hak
untuk berserikat,
7. Hak
untuk menyatakan pendapat,
8. Hak untuk beragama,
9. Hak untuk membela Negara,
10. Hak untuk mendapatkan pengajaran,
11. Hak akan kebebasan sosial,
12. Hak
akan jaminan sosial,
13. Hak akan kebebasan dan
kemandirian peradilan,
14. Hak mempertahankan tradisi
budaya,
15. Hak mempertahankan bahasa daerah.
Dari beberapa prinsip hak asasi yang dikemukakan
Dahlan Thaib tersebut di atas, yang bersentuhan langsung dengan prinsip
hubungan kerja, yakni hak akan kesamaan dan persamaan di hadapan hukum, hak
untuk bekerja, berserikat dan berpendapat, hidup layak dan hak atas jaminan
sosial. Hak dasar inilah yang harus ada dalam setiap hubungan kerja antara
pekerja dengan pengusaha.
Dari uraian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa
masuknya rumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945 menunjukkan adanya jaminan
hukum, dan demokrasi sebagai suatu opsi dalam sistem pemerintahan dan merupakan
manifistasi dari pelaksanaan HAM. Dengan demikian tegaknya demokrasi harus
sinergi dengan rule of
law. Tegaknya supremasi hukum harus sesuai dengan
ide/cita hukum sebagaimana prinsip negara hukum yang demokratis. Demikian pula
dalam menegakkan serta melindungi hak asasi manusia, pemerintah wajib
melaksanakan sesuai ketentuan hukum (undang-undang).
Hukum ketenagakerjaan yang berperan mengatur kebijakan
hubungan kerja, selain pengaturannya melalui peraturan perundang-undangan
terbit pula melalui bentuk peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
dan perjanjian kerja.Pada dasarnya ketentuan hukum ini, berlandaskan pada asas
kepastian, keadilan, manfaat, keseimbangan kepentingan,
musyawarah-mufakat, serta persamaan kedudukan dalam hukum. Asas-asas ini
mempunyai nilai sebagai cita hukum ketenagakerjaan dalam memberikan landasan
bagi perlindungan dan penegakan hukum bidang ketenagakerjaan.
Hak dan perlindungan hukum bagi pekerja yang bersumber
dari Undang-Undang No.13Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, antara lain (aspek
hukum) :
· Hak dan perlindungan keselamatan
dan kesehatan kerja,
· Hak dan perlindungan
kesejahteraan (Jamsostek),
· Hak dan perlindungan kebebasan
berserikat,
· Hak dan perlindungan pemutusan
hubungan kerja terselubung atau sepihak,
· Hak dan perlindungan pengupahan,
· Hak dan perlindungan waktu kerja
(meliputi : kerja lembur),
· Hak dan perlindungan kepentingan
ibadah, melahirkan, haid, cuti tahunan, istirahat antara jam kerja, istirahat
mingguan, dan lain perlindungan yang bersifat normatif.
Perlindungan hukum yang bersumber dari peraturan
perusahaan/ perjanjian kerja dan perjanjian kerja bersama (syarat-syarat kerja
yang belum diatur atau peningkatan kualitas atas standar minimum
peraturan perundang-undangan), antara lain :
· Fasilitas kesejahteraan (koperasi,
klinik, perumahan, dan keluarga berencana), kantin, rekreasi, olah raga, tempat
beribadah dan penitipan anak),
· Gaji berkala dan tunjangan
tetap,Bonus akhir tahun dan bonus berdasarkan prestasi,perlindungan yang
ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan,
perjanjian kerja.
Penggunaan sarana hukum yang bersifat otonom ini
cenderung lebih mengadopsi (walapun tidak secara keseluruhan), atau penyesuaian
diri yang bersifat tambal sulam dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
Perlindungan hukum bagi pihak pengusaha yang bersumber dari Undang-Undang No.
13 Tahun 2003, antara lain (aspek hukum) :
· Upah tidak dibayar, jika pekerja
tidak bekerja bukan atas kehendak pengusaha atau perusahaan (no pay, no
work),
· Hak mutasi terhadap pekerja untuk
kepentingan perusahaan,
· Hak mengatur, dan perintah untuk
melakukan pekerjaan,
· Hak sanksi bagi pekerja yang
terbukti melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama,
· Pemutusan hubungan kerja bagi
pekerja yang melakukan pelanggaran hukum,
· Pemutusan hubungan kerja dalam
masa percobaan,
· Perlindungan yang bersifat
normatif.
Ketentuan hukum yang memberi perlindungan bagi
pengusaha dimanfaatkan oleh yang bersangkutan untuk kepentingan usahanya,
sedangkan aturan hukum yang memberi perlindungan kepada pihak pekerja kurang
dipatuhi pengusaha. Hal ini karena posisi tawar pekerja kurang dapat
mengimbangi “kekuatan” pengusaha. Dalam hal ini peran pemerintah selaku
pengawas bidang ketenagakerjaan diharapkan berfungsi sebagai social control dan
melaksanakan pengawasan/ penindakan terhadap pelanggaran hukum ketenagakerjaan.
Dengan demikian hukum ketenagakerjaan telah memenuhi
persyaratan formil dan materiil sebagai hukum yang memberikan pengayoman,
kepastian hukum (asas legalitas), serta sebagai salah satu pilar dalam suatu
negara hukum yang menjunjung tinggi tegaknya supremasi hukum(the rule of law). Keberadaan
hukum ketenagakerjaan medasarkan pada asas keseimbangan yang bernilai keadilan
dan kemanfaatan, di mana kepentingan pekerja mendapat proteksi melalui peran
pemerintah dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan penindakan terhadap perbuatan
dan pelaku yang melakukan pelanggaran hukum dibidang ketenagakerjaan. Dari
aspek perdata, dapat memanfaatkan sarana Pengadilan Hubungan Industrial, yang
diawali penggunaan sarana bipartit, mediasi, atau konsiliasi, atau arbitrase,
dan selanjutnya tahap proses pemeriksaan melalui Pengadilan Hubungan Industril
dalam upaya menggapai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
1. Hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang
mempunyai unsure-unsur pekerjaan , upah dan perintah,
2. Hubungan kerja adalah suatu hubungan
pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian kerja yang diadakan untuk
waktu tertentu namun waktu yangtidak tertentu.
Ø Perjanjian Kerja
Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi “perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih lainnya.”
· Pengertian luas dan lemah
1. Sudikno Mertokusumo , “
perjanjian adalah subjek hokum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum .”
2. Definisi pejanjian klasik , “
perjanjian adalah perbuatan hokum bukan hubungan hokum (sesuai dengan pasal
1313 perjanjian adalah perbuatan).”
1.
pengertian perjanjian kerja
Dalam KUHPerdata , pasal 1601 titel VII A buku III
tentang perjanjian untuk melakuakn pekerjaan yang menyatakan bahwa, “selain
perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa yang diatur oleh
ketentuan yang khusus untuk itu dan untuk syarat-syarat yang di perjanjikan dan
jika itu tidak ada , oleh karena kebiasaan , maka ada dua macam perjanjian
dengan mana pihak yang lain dengan menerima upah, perjanjian perburuhan dan
pemborong pekerjaan.”
2.
unsur-unsur dalam perjanjian kerja
KUH Perdata pasal 1320 (menurut pasal 1338 (1) )
menyatakan sahnya perjanjian mereka
sepakat untuk mengakibatkan diri yaitu:
· Cakap untuk membuat suatu
perikatan,
· Suatu hal tertentu,
· Suatu sebab yang halal,
M.G Rood (pakar hokum perburuhan dari belanda ), ada 4
unsur syarat perjanjian kerja antara lain :
1. Adanya unsure work (pekerjaan),
2. Adanya unsure service
(pelayanan),
3. Adanya unsure time (waktu ),
4. Adanya unsure pay (upah ).
3.
Bentuk Perjanjian Kerja
Dalam praktik di kenal 2 bentuk perjanjian yaitu :
· Tertulis, di peruntuk
perjanjian-perjanjian yang sifatnya tertentu atau adanya kesepakatan para
pihak, bahwa perjanjian yang dibuatnya itu menginginkan dibuat secara tertulis,
agar adanya kepastian hokum.
· Tidak tertulis, bahwa perjnjian
yang oleh undang-undahng tidak disyaratkan dalam bentuk tertulis.
4.
Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dlam Perjanjian Kerja
Subjek dari perjanjian kerja adalah orang-orang yang
terikat oleh perjanjian yang di buatnya Hak dan kewajiban subjek kerja,
dimana hak merupakan suatu tuntutan & keinginan
yang di peroleh oleh subjek kerja ( pengusaha dan pekerja). sedangkan kewajiban
adalah para pihak, disebut prestasi.
5.
Berakhirnya Perjanjian Kerja
Alasan berakhirnya perjanjian kerja adalah :
· Pekerja meninggal dunia,
· Berakhir karena jangka waktu
dalam perjanjian,
· Adanya putusan pengadilan
dan atau putusan atau penetapan lembaga penyelsaian perselisihan hubungan
industrial,
· Adanya keadaan atau kejadian yang
di cantumkan dalam perjanjian kerja,
· Pemutusan hubungan kerja
Istilah dan pengertian hubungan kerja yaitu :
1. Deter mination , putusan hubungan
kerja karena selesai atau berakhirnya kontrak kerja,
2. Dissmisal, putusan hubungan
kerja karena tindakan indisiplinerm
3. Redudancy, pemutusan hubungan
kerja yang berkaitan dengan perkembangan tekhnologi,
4. Retrechtment, pemutusan hubungan
kerja yang berkaitan dengan masalah ekonomi,
5. F.X. Djumialdji, Pemutusan
hubungan kerja adalah suatu langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan
majikan karena suatu hal tertentu.
Pasal 1 angka 25 UU no.13 thn. 2003, PHK adalah
pengakhiran hubungan kerja karena sesuatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara perkara (buruh dan pengusaha).
Ø Macam-macam pemutusan kerja
· Pemutusan hubungan kerja demi
hukum
hubungan
kerja antara pengusaha dan pekerja berhenti dengan sendirinya yang mana kedua
belah pihak hanya pasif saja , tanpa suatu tindakan atau perbuatan salah satu
pihak. Pemutusan hubungan kerja ini terjadi pada saat :
1. Perjanjian kerja pada waktu
tertentu, (pasal 1.1 Kep. Men tenaga kerja & transmigrasi no: Kep.100/ Men/
V/ 2004 tentang keterangan pelaksanaan perjanjian kerja , waktu tertentu,
2. Pekerja meninggal dunia, pasal 61
ayat 1 huruf a UU no.13 thn. 2003 ditegaskan bahwa perjanjian kerja berakhir
apabila pekerja meninggal dunia namun hak-hak nya bisa di berikan pada ahli
waris (61.a(5).
· Pemutusan hubungan kerja oleh
pekerja dapat terjadi karena :
1. Masa percobaan,
2. Meninggalnya pengusaha,
3. Perjanjian kerja untuk waktu
tidak tentu,
4. Pekerja dapat memutuskan hubungan
kerja sewaktu-waktu.
· Pemutusan hubungan kerja oleh
pengusaha yaitu dengan membayarkan uang pesangon, sebagai upah akhir.
· Pemutusan hubungan kerja oleh
pengadilan
Keputusan yang di tetapkan oleh pengadilan tentang
pemutusan hubungan kerja dalam pengadilan perdata yang biasa berdasarkan surat
permohonan oleh pihak yang bersangkutan.karena alas an – alas an penting.
Penyelesaian hubungan kerja dibedakan atas 2 bagian
yaitu :
1. Menurut sifatnya yaitu :
· Perselisihan kolektif,
· Perselisihan perseorangan
2. Menurut jenisnya yaitu :
· Peselisihan jenisnya,
· Perselisihan kepentingan
Sistem pengupahan di pandang dari sudut nilainya upah
dibedakan antara lain :
a. Upah nominal adalah jumlah yang
berupa uang.
b. Upah riil adalah banyaknya barang
yang dapat dibeli oleh jumlah uang itu.
Menurut cara menetapkan upah dibagi kedalam
system-sistem pengupahan , sebagai berikut :
a. Sistem upah jangka waktu,
b. Upah yang ditetapkan menurut
jangka waktu pekerja,
c. Sistem upah potongan.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik
kesimpulan yaitu :
· Menurut Undang-undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan ketenagakerjaan itu
sendiri adalah segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
· Hukum ketenagakerjaan menurut
Imam Soepomo diartikan sebagai himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak
tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang
lain dengan menerima upah.
· Tujuan
hukum ketenagakerjaan, yakni menjaga ketertiban jalinan hubungan kerja antara
pekerja dengan pengusaha. Dalam rangka menjaga ketertiban, perlu pedoman
berperilaku yang berbentuk hukum normatif (kepastian hukum), dan diarahkan pada
cita hukum, yaitu keadilan maupun kemanfaatan. Ketiga nilai tersebut melandasi
tegaknya hukum ketenagakerjaan, disamping itu Indonesia sebagai negara hukum
memberlakukan kasta yang sama dihadapan hukum (Equality
before of the Law).
· Hukum ketenagakerjaan dalam
konstitusi hukum (Indonesia) merupakan implementasi dari falsafah dasar, yakni
Pancasila dan teori dasar (UUD. 1945). Nilai dasar tersebut mempunyai aspek
kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan. Kepastian ini sekaligus mencerminkan
nilai keadilan, yang memberi kemanfaatan bagi kelangsungan hidup pekerja dan
pengusaha dalam koridor perusahaan.
B. SARAN
Sebaiknya apabila
melakukan suatu perjanjian kerja haruslah memenuhi syarat sahnya suatu
perjanjian dalam KUHPerdata, karena itu merupakan pokok utama dalam suatu
perjanjian, selain syarat sahnya suatu perjanjian kerja yang wajib dipenuhi
unsur kerja juga harus dipenuhi supaya perjanjian kerja itu berjalan sesuai
undang-undang yang mengatur.
LIKE & SHARE
0 Response to "CONTOH MAKALAH EKONOMI TENTANG HUKUM KETENAGAKERJAAN"
Posting Komentar